Titik Buta

Titik Buta

Mataku terbuka dalam gelap tanpa cahaya.

Dinginnya angin berhembus seolah napas yang keluar dari dalam bumi.

Inikah akhir hidupku.

Atau...

Rasa apa yang kurasakan saat ini, aku pun tidak mengerti.

.

Ya. Aku sedang berdada dalam gua vertikal yang dalamnya 100 meter lebih. Ini kesekian kalinya aku masuk ke dalam gua. Kegiatan yang tak pernah kubayangkan sebelummya yang sekarang membuatku candu.

.

Ini ceritaku pada tahun 2021. Penelusuran gua untuk yang pertama kalinya. Ada rasa yang membuatku takut bercampur penasaran, bagaimana jika seandainya jalanku untuk keluar tertutup oleh longsor, bagaimana jika seandainya aku tersesat, dan andai andai yang lainnya. Ketakutan ketakutan yang kubayangkan juga besar sebesar rasa penasaranku.

Sebelumnya aku sudah melakukan riset kecil tentang gua, apa saja yang ada di dalamnya, bagian bagiannya, etika dan peralatan yang ku gunakan nanti. Hal itulah yang membuatku semakin penasaran, bagimana bentuk goanya, apakah segelap yang kubayangkan, basah, dingin, lembab, pertanyaan pertanyaan itu timbul dalam kepalaku.

.

“ bang ancornya udah terpasang rapi belum, boleh bantu cek lagi enggak “ tanya seorang gadis padaku, dia bertugas sebagai Rigger, seorang yang melakukan pemasangan jalur dan tali untuk pertama.

“ talinya jangan sampai cutting ya, nanti susah dibuka kalau seandainya salah, kalau ancornya udah tiga udah pas, yang penting talinya jangan terlalu tegang “ jawabku dari atas. Saat itu kami berjarak sekitar dua meter, posisinya sudah berada di mulut gua . dia tidak tahu, sebenarnya kami sama, ini adalah penelusuran kami untuk yang pertama kalinya.

“ oke, aku turun ya “ jawabnya mantap sambil menatapku dengan senyum manisnya.

“ jangan lupa, nanti komunikasi pakai HT, jangan panik dan jangan lupa bernafas “ candaku singkat sambil tertawa.

.

Aku orang yang kedua untuk turun, tugasku untuk memasktikan jalur yang dibuat sudah diikat pada tempat yang tepat. Handy Talky yang ada di pinggangku berbuyi ketika aku sedang mempersiapkan alatku untuk turun.

“ bang, ancornya di ikat di mana, agku gak tau ? “ tanyanya dengan napas tersengal.

“ atur nafas dulu, udah macam lari maraton tu napas, santai aja dulu, enggak usah buru buru, coba amanin posisimu dulu, nanti kalau udah tenang pasti kelihatan tuh di mana ancornya “ jawabku sambil tertawa. Fisiknya memang kuat, tapi seandainya aku jadi orang yang pertama turun, mungkin aku akan sama seperti dia, takut bercampur bingung.

“ oke bang, aku duduk dulu ya, bingung mau ngapain “ jawabnya singkat dan napasnya masih tersengal sengal.

Sebelumnya kami sudah melakukan pembekalan, dan latihan fisik yang cukup. Aku yakin padanya, oleh sebab itulah dia yang pertama kuajukan untuk turun.

“ ikat aja yang tadi, ancornya berbentuk cerukan batu, besarnya sepergelangan tangan lebih, ada celah untuk wabbing masuk, lagian kalau gak dapat, cari aja posisi yang pas, yang penting sampai aja dulu ke bawah nanti biar aku yang betulin “ kataku padanya sembari menyiapkan alatku lagi.

Goa ini salah satu dari tiga goa yang biasa kami telusuri kalau berkegiatan, masyarakat di sini menamai goanya sebagai Goa Pintu Angin, mulut goa yang berbentuk vertikal dengan kedalaman sekitar 80 meter, dinamai goa pintu angin karena dari dalam goa berhembus angin yang begitu sejuk, seolah bumi sedang menghembuskan nafasnya.

“ aku udah sampai dasar, alatnya udah ku buka, jangan lama ya bang, di sini gelap, takut sendirian “. Bunyi Handy Talky berbunyi lagi, dia sudah sampai pada dasar goanya.

Jika dihitung hitung lumayan lama juga dia bergantung untuk memasang lintasan, sekitar 20 menit lebih. Saatnya untukku beraksi, rasanya campur aduk, ada rasa khawatir, takut, dan rasa penasaran yang menggebu gebu.

“ oke aku turun “ jawabku singkat padanya.

“ coba cek lagi alatnya, udah lengkap belum? “ tanyaku pada temanku. Penelusuran ini melibatkan sekitar 12 orang.

“ oke boy, udah lengkap, hati hati ya, pastiin jalur yang dibuat udah pas “ jawabnya padaku sambil memastikan peralatanku sudah lengkap.

Waktunya aku turun, jantungku berdegup kencang, seolah dipaksa untuk keluar. Aku turun perlahan, kuperhatikan satu persatu dengan seksama. Rasa penasaranku mulai menggebu, bagaimana mungkin orang seperti aku turun dalam gua sedalam ini, tak pernah kubayangkan. Dari luar saja begitu indah, sedangkan aku sudah perlahan masuk ke dalam.

Sedikit demi sedikit aku sampai pada titik jalur kedua, jalur yang sedari tadi dicari oleh gadis yang pertama turun. Sebenarnya jalurnya udah pas, bisa dikatakan dia berhasil memilih jalur untuk rekan rekannya turun, tapi dia lupa satu hal, dia memilih tumpuan yang kecil yang sewaktu waktu semakin sering dibebani bisa saja, tumpuannya pecah dan jatuh.

“ bang, ancor yang kubuat salah ya ? “ teriaknya dari bawah ketika dia melihatku samar samar. Jarak kami tidak begitu jauh, hanya terpaut 20 meter.

“ enggak kok, udah pas, hanya kekecilan “ jawabku singkat sembari memperbaiki tumpuannya.

Begitu indah ciptaanya, lekuk tebing yang tak bisa diciptakan manusia, ornamen ornamen yang membuatku terdiam, tak bisa berkata kata.

Aku telah sampai di dasar gua, dan bertemu gadis yang pertama kali turun. Kami hanya dibekali penerangan senter, cukuplah untuk penerangan kami dalam berkegiatan.

.

Inikah ciptaanMu? Berapa besar kuasamu menciptakan ini. Indah dan tiada tanding.

Kubuka mataku dalam gelapMu, seolah engkau berada di depanku, begitu dekat dan begitu dekat.

DingiMu memaksaku terdiam, membatin denganMu, seolah engkau mengajakku bercerita.

Izinkan aku menikmati indahMu, agar aku semakin dekat denganMu.

Komentar

Postingan Populer