Jatuh Untuk Memulai
Jatuh Untuk Memulai
“coba kau cek lagi, masih ada alat yang kurang enggak?”
tanyaku padanya. “nampaknya enggak ada lagi sih, sudah lengkap semua”. Kami sedang
melakukan kegitan panjat tebing disalah satu daerah di pinggiran danau toba.
Beberapa hari yang lalu aku
masih berada di rumah, kata mereka minggu depan akan ada kegitan pemajatan di
tebing di dekat pinggiran Danau Toba. Tempat yang menarik dengan pemandangan yang
begitu indah, seolah ada potongan surga yang jatuh kebumi.
Kenalin, namaku Tama, anggota
organisasi pencinta alam di salah satu kampus di sumatera utara. Tapi jangan
salah, aku bukan lagi seorang mahasiswa, aku masih tetap suka berkegiatan di alam.
“ mah, minggu depan aku balik
ke medan ya, mau ada kegitan ke Danau Toba ”
“ kok perginya mendadak,
bukannya udah janji, kalau baliknya bulan depan ”
Sebelumnya aku memang pernah berjanji
pada mamah, nanti kalau aku balik ke kampung akan tinggal sebulan lebih. Bukan aku
enggak mau menepati janji, tapi ada pekerjaan yang sudah menungguku. Aku sudah
hampir tiga minggu berada di kampung, dan kurasa itu sudah cukup, lagian pekerjaanku
sudah selesai di sini. Aku ingin menikmati suasana tenang, aku ingin sendiri
melepas pikiran yang bertengkar dalam kepalaku.
“ iya mah, kan udah hampir tiga
minggu di sini, kerjaan ku d isini juga udah selesai, ada hal yang harus ku
kerjakan ke Danu Toba “. Untuk sekarang aku memang belum punya pekerjaan yang
menetap, keluargaku hanya tahu kalau aku bekerja paruh waktu, kadang
penelitian, jadi pemandu wisata atau jadi fasilitator out bound, ya setidaknya
cukuplah untuk kebutuhan sehari hari. Begitu juga dengan kepergianku kali ini, keluargaku
hanya tahu kalau aku sedang ada pekerjaan.
“ iya, enggak apa, nanti mau
di bawain apa kalau pergi?”. mamah punya kebiasaan kalau aku berangkat dari
rumah selalu dibawaiin bekal, bahkan pernah waktu itu aku berangkat ke Medan
ketika bulan puasa, mamah bela belain buat daging panggang sambal matah malam
malam untuk bekalku sahur.
“ enggah usah mah, bawa keripik
aja udah cukup kok, enggak usah masak “ jawabku sambil memilih baju yang ingin
aku bawa pergi.
“ on belay “, “ belay on “, komunikasi
yang biasa kami gunakan dalam pemanjatan tebing, sebuah istilah atau isyarat
yang kuberikan bahwa aku siap untuk memanjat dan jawaban bahwa belayer dalam
posisi siap. Ada hal yang menarik dari pemanjatanku kali ini, selain karena
lokasinya yang begitu indah, tebing ini sempat aku survei, tapi belum sempat
untuk panjat.
Akhir akhir ini pikiranku
dipenuhi oleh gemuruh, mungkin karena aku sedang memikirkan seseorang, selain
itu aku sedang berada dikeadaan yang membuatku bingung akan memutuskan sesuatu.
Usiaku yang bertambah beberapa hari sebelumnya, selain senang, hal itu menjadi
bumerang yang begitu besar untuk ku. Itu sebenarnya alasanku pulang ke kampung,
untuk merayakan bertambahnya usiaku. Seiring bertambahnya usia seolah membuatku
merasa gagal, karena sampai sekarang belum ada pekerjaan yang tetap untuk ku
kerjakan.
Mamah pernah bilang padaku, bahwa dia lebih
suka kalau anaknya punya pekerjaan yang tetap, pekerjaan yang punya penghasilan
yang cukup, bukan pekerjaan paruh waktu yang kerjaannya kesan kemari tanpa arah
yang pasti. Itu kata mamah, keinginan orang tua yang tak ingin anaknya pergi
ke sana kemari tanpa tujuan. Tapi hatiku berkata lain, inginku membawa langkahku
menjelajah tempat tempat yang belum pernah ku singgahi. Aku lulusan sarjana
hukum, tetapi aku sendiri tidak begitu suka dengan hukum yang kujumpai saat ini,
itu salah satu alasanku memilih untuk menggeluti di bidang lain, bidang yang
bukan menjadi jurusanku sewaktu kuliah.
Aku pernah bilang pada mamah “
mah, kalau seandainya aku punya pekerjaan yang enggak sesuai jurusanku sewaktu
kuliah mamah marah enggak?”. Mamah diam sebentar dan menjawab “ enggak apa kok,
yang penting kamu punya pekerjaan dan gak nyusahin orang, itu udah cukup kok “.
Ada sebuah beban yang semakin bertambah di pundakku seiring bertambahnya usia. Apalagi
aku merupakan anak bungsu, anak yang menjadi harapan terakhir orang tuanya.
Aaaaaahahhhhhhh, itulah yang kupikirkan
sekarang, sebuah beban yang semakin berat, waktu akan terus berjalan, takkan
pernah bisa diulang, sedangkan aku masih sibuk dengan duniaku sendiri, tanpa
memikirkan orang orang yang ada di sekitarku.
“ belay off “ teriakku dari
atas tebing, seolah memberikan tanda bahwa aku sudah selesai memanjat, aku
sudah sampai pada titik yang ingin kucapai. Sesampainya di atas aku langsung
memasang pengaman tambahan untuk berjaga jaga jika terjadi sesuatu. Aku berada
di ketinggan 30 meter lebih, dari sini pemandangannya begitu indah, di depanku
terbentang luas danau toba yang dihapit oleh pegunungan yang tak terputus. Airnya
terlihat biru, anginnya seolah berbisik mengelus rambutku, kusandarkan badanku
sambil memejamkan mata.
.
Aku jatuh dalam pusaran yang tiada henti, terus membawaku ke dasar yang tak
berujung. Jatuh dan semakin jauh.
.
Semesta punya cara untukku, dia hadir ketika aku membutuhkannya. Begitu juga
denganMu.
.
Kata mereka, jatuhlah sampai tiada tempat lagi untukmu, di mana tempatmu
akan menemukan dirimu sendiri.
.
Bersyukurlah, kamu sudah sampai pada titik terendah dalam dirimu.
.
Titik terendah di mana tiada lagi tempat untukmu terjatuh.
Komentar
Posting Komentar