Apakah Kau Mencintaiku
Hai tuan, bagaimana nasibmu sekarang, semakin lama kulihat dirimu semakin tak
tentu arah. Kau tahu tuan, tahun telah berganti, akankah kau masih begitu
terus?, meringkuk di atas dipan empukmu?
Hai putri, apakah kau tidak melihatnya? Atau mungkin kau hanya mencoba
saja?, bukankan kau berhak untuk memilih, memilih mana yang seharusnya kau
miliki.
.
.
“Maukah kau mendengarkan sedikit saran dariku” si kanan berbisik pelan, “aku
tahu kau sudah kalah, tapi sampai kapan kau selalu begini” ucapnya lagi sebelum
dijawab oleh si tuan yang rambutnya sudah mulai panjang.
“bantu aku, berikan aku saran yang terbaik” si tuan yang rambutnya mulai
memanjang berkata lirih.
“dengarkan aku baik baik” si kanan memperbaiki posisi duduknya, seolah
bersiap menyampaikan sesuatu yang serius. “pulanglah, pulanglah ke rumahmu,
sudah terlalu jauh kamu melangkah tak tentu arah. Bangunlah, bangun rumahmu
yang dulu kau tinggali, rumah yang dulu kau tinggalkan demi rumah yang baru”
kata si kanan dengan wajah serius.
“rumah yang mana?, bahkan aku sendiri tidak tahu arahku untuk pulang”
jawab si tuan dengan muka yang semakin lusuh.
“rumahmu pulang sekarang adalah dirimu sendiri, berdamailah, dan
berjanjilah pada dirimu sendiri bahwa kau akan mengikhlaskan apa yang kau
miliki sekarang” si kanan berjalan mendekati si tuan yang rambutnya semakin
panjang, tangannya meraih pundaknya dan berkata dengan suara pelan “pulanglah,
dan ikhlaskan semuanya, maka hatimu akan menerimanya”, si kanan berlalu
meninggalkan si tuan yang tertunduk di kursi lipatnya.
.
“Hai putri, bolehkah aku bertanya padamu?” si tuan yang rambutnya semakin
panjang meraih tangan sang putri. “ada satu hal yang ingin kupastikan padamu
sebelum aku pulang” wajahnya yang sedari tadi lusuh berubah menjadi serius.
“bagaimana perasaanmu padaku, apakah kau menyayangiku?” belum sempat sang
putri mengizinkannya bertanya, si tuan yang rambutnya semakin panjang langsung
bertanya.
Sang putri hanya tersenyum, senyum indah itu yang selalu membuat si tuan kalah,
dia tak sanggup menatap senyumnya dan selalu tertunduk mengusap dadanya.
“bolehkah aku mengetahui jawabanmu wahai sang putri” tanya si tuan sekali
lagi.
“kau sudah tahu jawabnya wahai tuan, kau sudah tahu jawabanku sebelum aku
menjawabnya” kata sang putri pada si tuan yang rambutnya semakin panjang.
Si tuan yang rambutnya semakin panjang pun berlalu pergi, dia tahu sebab
akibat yang telah dia ambil sebelumnya, dia tahu dia telah kalah sejak awal,
tak mungkin memenangkan hati sang putri yang sudah memiliki pangeran. Dia berjalan
menyusuri jalan dengan kuda kesayangannya.
.
“kau sudah pulang, bagaimana perjalananmu, apakah kau berhasil, mana sang
putri, bukankan kau berjanji padanya akan membawanya pulang” si kiri membukakan
pintu, melihat si tuan yang rambutnya semakin panjang berjalan lunglai kembali
tanpa sang putri.
“aku pulang” tanpa menghiraukan si kiri, si tuan yang rambutnya semakin
panjang berjalan memasuki rumah yang berantakan. Rumah itu terlihat bagus dari
luar, halamannya luas, pohonnya rindang, bangunannya kokok, warna temboknya
cerah tetapi di dalamnya sangat berantakan, seolah ada orang yang telah sengaja membiarkannya.
Si tuan yang rambutnya semakin panjang melangkah masuk, mendekati kursi
lipat yang sudah mulai berlubang. Si kanan yang sedari duduk menunggunya
tersenyum, berdiri, berjalan mendekati si tuan dan memeluknya. “kau sudah selesai
dari pencarianmu? Kamu sudah lelah mari duduk di sampingku, aku tahu itu berat
untukmu”.
Dengan wajah yang bingung si kiri berkata “apa yang terjadi, apa yang telah
kau lakukan padanya, kau sudah meracuninya dengan kata kata realistismu”, si
kiri berjalan mendekati mereka dengan wajah yang memerah.
“bukankan kita sudah berusaha, bukankan kau sudah melakukan yang terbaik
menurutmu, mengapa sekarang hatimu bimbang, apa kau sudah terbujuk rayuannya”,
si kiri dengan marah melangkah mendekat, menarik baju si tuan.
Si kanan langsung melompat tak percaya, beraninya si kiri menarik baju si
tuan yang rambutnya semakin panjang. “apa yang sedang kamu lakukan, coba kau
perhatikan baik baik, apakah kau akan terus mengikuti kata hatimu, coba lihat, lihat
wajahnya, jangan kau terlalu memaksakan hatimu, bukankah kau juga sudah tahu
dia telah kalah sebelum dia memulainya”. Si tuan yang rambutnya semakin panjang
hanya tertunduk, dia tidak melakukan apa apa, seolah dirinya telah mati,
tertunduk lemas.
“kau terlalu memanjakannya kiri, terlalu memberikan harap padanya,
lihatlah, ini jika kau mengikuti kata hatimu, kau terlalu memaksa, seolah ada
harapan yang kau terima” si kanan melepas tangan si kiri dan mendorongnya
menjauh.
“bukankah kita sudah berjanji, kita akan berusaha bersama, menunggu waktu
yang telah kita janjikan” tanpa memperdulikan si kanan, si kiri sudah berada
di depan si tuan. “ kita sudah berjanji bukan, apakah kau akan melupakan janji
itu?” kata si kiri dengan wajah serius.
“sudahlah, tak perlu kau dengarkan kata katanya, kau sudah berusaha sampai
detik ini, sudah saatnya kau menunggu, kau punya janji bukan, maka tunggulah
janji itu, tunggulah dengan cara berbenah, berbenah dan bersiap seandainya
janjimu tidak seperti yang kau harapkan” si kanan berjalan mendekati si tuan
yang sudah berlalu menuju tempat tidurnya.
“aku lelah, tak ada gunanya kalian bertengkar, kita sudah berusaha, aku
juga sudah berpikir realistis, mari tidur sudah larut malam. Seandainya sang putri mengetahui ini, ingin
sekali rasanya aku memegang tangannya dan berkata, apakah kau mencintaiku?” si
tuan yang rambutnya semakin panjang berjalan mendekati dipan kayunya yang
beralaskan kasur lusuh. Dia lebih suka berbaring lama di atas dipan tua itu,
seolah memaksa dirinya bermimpi dan terus bermimpi.
Komentar
Posting Komentar